Tuesday, June 12, 2007

Tiga Hari

Senja ini, suasana di kedaiku tampak sunyi. Mungkin karena hujan yang cukup lebat mengguyur sejak tadi siang, sehingga tak banyak yang bepergian keluar rumah. Pegawaiku yang berjumlah tiga orang, saling bersendau gurau di dekat meja kasir untuk mengusir kejenuhan.
Aku sendiri duduk di meja favoritku sembari membaca novel klasik Layla Majnun. Sesekali aku memandang keluar jendela, mengamati manusia – manusia di luar sana yang masih berjuang untuk menyelamatkan diri dari hujan, beberapa diantaranya meneduhkan diri di emperan kedaiku. Pemandangan yang sungguh menyebalkan, jadi menutupi keindahan dekorasi kedaiku yang seharusnya dapat terlihat dari jalanan.
Lonceng di pintu masukku bergemerincing, bola mataku otomatis bergerak kearah pintu dan menangkap tubuh seorang laki – laki yang baru saja masuk, ekor mataku bergerak memandangi wajahnya yang tampan, dia duduk di pojokan, menghadap ke jendela. Arneta, salah satu pegawaiku menghampirinya sambil menyerahkan menu, yang lalu dibukanya sekilas, tak lama kemudian dia berbicara sesuatu, yang kulihat Arneta menganggukan kepala, lalu mencatat pesanannya.
Aku masih mengamati laki – laki itu, dia menatap keluar jendela, dengan tangan yang dikepal menjadi satu dan disanggakan di dagunya. Beberapa menit kemudian, Arneta datang memberikan pesanannya, secangkir cappucinno dan brownies keju buatanku tadi pagi.
Dia meminum cappucinno, dan mencuil brownies kejunya, aku melihat dia mengunyah brownies buatanku, dia tersenyum, lalu mengambil secuil lagi, aku pun ikut tersenyum sendiri, rasanya aku senang sekali kalau ada yang menikmati brownies buatanku. Dia mengambil pena dari sakunya lalu menarik sehelai tisu, dan menulis diatasnya. Aneh …benar – benar aneh…apa yang ditulisnya ya?apakah sebuah saran dan kritik untuk kedaiku?sesekali wajahnya diangkat dan menatap lagi keluar jendela, setelah menghela nafas panjang, dia menunduk dan menulis lagi.
DEG
Tiba – tiba saja kepalanya menoleh, dan menangkap basah aku yang sedang memandanginya, mati aku!wajah tampan itu masih menatapku, lalu ujung bibirnya terangkat, dia tersenyum, aku membalas senyumannya sambil menganggukkan kepala. Dia menoleh kearah jendela lagi, sambil menghabiskan brownies dan meminum kopinya lalu beranjak pergi, setelah meninggalkan sejumlah uang di atas meja. Dia pergi begitu saja, tanpa menoleh lagi padaku, berlari menembus hujan yang sudah tidak terlalu lebat di luar sana.
Aku berjalan menghampiri meja yang ditinggalkannya, jantungku berdetak lebih cepat dari biasa, tisu yang ditulisinya tadi tidak dibawanya pulang, kuraih tisu tersebut dan cepat - cepat kumasukkan ke saku jeansku, tepat saat Arneta datang sambil membawa nampan untuk mengambil cangkir dan piring kotor.
Sesampainya di rumah, aku berlari menuju kamar, kukunci lalu kujatuhkan tubuhku ke sofa empuk yang berada di dekat jendela kamar. Kutarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, tanganku mencari tisu milik laki – laki tadi yang kusimpan di saku jeansku, aku membukanya perlahan – lahan, takut tanpa sengaja akan tersobek, rupanya sebuah puisi….
Jiwa ini….
Raga ini…
Menyatu dalam indahnya dirimu….
Andai kau biarkan aku merenanginya….
Andai kau biarkan aku menghirup harum nafasmu…
Aku berjanji, kelak…takkan kubiarkan kau mati dalam kesendirian…
Aku membacanya berulang kali, tubuhku gemetar, tisu itu terjatuh di pangkuanku, aku menoleh ke luar jendela, bulir – bulir air mata, jatuh satu persatu di pipiku, Ya Tuhan…ada apa denganku? Hatiku teriris, puisi itu sangat indah, cinta seperti apa yang dimilikinya? cinta yang sangat besar pasti, betapa beruntungnya jika bisa dicintainya. Kupejamkan mataku, siluetnya terbayang begitu jelas, dadaku berdebar kencang, Tuhan…apa yang kurasakan ini?bahkan aku tidak mengenalnya, mengapa hanya membaca tulisannya aku bisa merasakan ini? Malam ini aku ingin memimpikan dia dalam tidurku, agar dapat kurasa hangat tubuhnya yang memelukku.
Keesokan harinya, seperti biasa aku membuka kedaiku pukul sebelas siang, lalu aku pergi kekampus, dan datang lagi saat senja. Senja ini kedaiku cukup ramai, karena hujan tidak lagi mengguyur. Pasangan muda – mudi datang untuk saling bercengkrama, ditemani kopi dan kue hangat. Aku duduk di meja favoritku , entah kenapa meja favoritku ini tidak banyak yang menyukainya, padahal dari tempat ini, seluruh aktivitas kedai dapat terlihat.
Aku melanjutkan membaca novel klasikku kemarin. Sampai ketika mataku lelah dan aku melempar pandangan ke luar jendela, aku melihat laki –laki yang kemarin datang lagi, jantungku berdetak kencang, aku mencuri - curi pandang kepadanya dari balik bukuku, Ya Tuhan…ampunilah aku, aku mengingininya! aku ingin dia! aku ingin dicintainya! aliran darah di tubuhku mengalir deras. Arneta menghampirinya, tanpa membuka buku menu, dia memesan sesuatu, wajahnya tampak sayu, ada apa dengannya? Entah apa yang mendorongku, aku berdiri dan bergerak cepat menuju dapur, pesanan laki – laki tadi kuambil alih. Tak sampai sepuluh menit, secangkir cappucinno dan brownies keju sudah siap untuk diantarkan, aku menatanya disebuah nampan, lalu membawa ke mejanya. Laki – laki itu terlihat begitu indah di mataku, rahang yang kokoh, tubuh yang tinggi, kulit kecoklatan, serta sepasang mata yang tajam, dan mata yang kukagumi itu tiba – tiba menoleh kearahku yang sedang membawakan pesanannya. Serasa ada ribuan watt listrik yang menyetrumku, tanganku gemetar, dan refleks aku menjatuhkan nampan yang kubawa tadi, aku buru – buru jongkok, dan memunguti pecahan cangkir, beberapa pegawaiku dengan sigap mendekati dan membantuku memunguti pecahannya,
“Tidak apa – apa mbak? biar saya yang membersihkan..” kata Wisnu sambil mengambil nampan yang kubawa,
“Aduh..” pekikku tertahan
Jemariku tergores pecahan tersebut, darah menetes, ternyata goresannya cukup dalam,
“Ini, pakai sapu tanganku.”
Aku menengadah, laki – laki itu mengangsurkan sapu tangan berwarna biru kearahku, dan tanpa sempat aku berbicara dia meraih jariku yang terluka, dibalutnya dengan sapu tangan biru itu, lalu membantuku berdiri dan mempersilakan aku duduk dimejanya,
“Ma…maaf…pegawaiku akan membuatkanmu cappucinno yang baru..” ujarku lirih,
Dia tersenyum tanpa berkata – kata, kepalanya mengangguk, lalu dia berdiri dan mengambil alih kotak obat yang dibawa Arneta untukku, dengan cekatan dia membersihkan lukaku, meneteskan obat, lalu membalutnya, aku mengamati garis wajahnya yang sempurna, ketika dia sedang mengobati lukaku, tanganku masih gemetar, sementara laki – laki di hadapanku ini sudah selesai membalut lukaku,
“Terima kasih ya…” kataku sambil tersenyum,
Wisnu datang, mengantarkan lagi cappucinno dan brownies untuknya, dia tersenyum lalu meminum cappucinnonya,
“Kau pemilik tempat yang nyaman ini ya?siapa namamu?” tanyanya padaku
Aku mengangkat wajahku yang sedari tadi menunduk, dan memberanikan diri untuk menatap tepat di matanya, Ya Tuhan…terimakasih, akhirnya dia berbicara juga,
“Mawar…” jawabku singkat
“Nama yang indah, apa kau juga seperti bunga mawar? cantik, berduri, dan mahal? membuat laki – laki harus berhati – hati untuk mendekatimu?”
Aku tersipu, mendengar kata – katanya barusan, pipiku menghangat, dia bilang apa?dia bilang aku cantik, aku menunduk, sementara laki – laki di hadapanku ini masih menatapku,
“Anda sendiri?lebih suka bunga mawar atau bunga liar?”
“Aku lebih suka bunga liar, bunga mawar memang cantik dan banyak yang suka…tapi bagiku bunga mawar justru terlihat angkuh. Bunga liar lebih istimewa, mereka ada, tapi kita gak pernah sadar kalau mereka ada…kadang bunga liar juga jadi korban, mereka kadang gak sengaja terinjak, atau malah dicabut. Padahal apa salahnya coba? Karena itulah aku mengaguminya, karena untuk bisa tetap hidup, mereka harus bertahan dari semua mata yang meremehkannya, karena sibuk mengagumi mawar yang cantik. ”
“Begitu ya? kalau begitu, aku ingin jadi bunga biasa saja...tidak perlu menjadi mawar yang cantik atau bunga liar. Apa seperti itu juga kamu menilai wanita? Mengumpamakannya dengan bunga?”
Laki – laki ini tersenyum, lalu meminum cappucinnonya,
“Mbak Mawar, ada telepon dari Ibu.”
Aku menoleh ke Wisnu yang sudah berdiri di sampingku, lalu memandang laki – laki itu, meminta ijin menjawab telepon, laki – laki itu menganggukkan kepala, dengan enggan aku berdiri dan berjalan kearah dapur.
Ketika aku kembali, laki – laki tadi sudah pergi. Aku menarik nafas kecewa, kuhampiri mejanya yang belum sempat dibereskan, mataku menangkap sehelai tisu lagi, dengan coretan diatasnya, buru – buru aku mengambilnya, dadaku berdebar kencang, Ya Tuhan!aku ingin tahu apa yang ditulisnya!
Dengan tergesa aku berjalan menuju toilet, dan kukunci dari dalam, aku duduk di samping wastafel dan mengambil tisu tadi dari saku, kubaca isinya…
Jiwa ini seutuhnya milikmu…
Darah yang mengalirinya pun…
Ada karenamu…
Karena kaulah…
Kurasakan indah dan pedihnya mencintai…
Aku menggigiti bibirku, bercampur aduk rasa di hatiku, mataku memanas, bulir – bulir air mata mulai menggenang, ada getir di hatiku, entah karena puisinya yang indah, atau karena ada perasaan cemburu disini, atau karena aku jadi teringat sebuah masa, ketika aku pernah merasakan bagaimana mencintai.
Senja yang indah lagi di kedaiku. Kali ini aku sengaja menunggu kedatangannya, sedari tadi aku mondar – mandir, perasaanku tidak tenang, mulutku komat – kamit memanjatkan doa, agar Tuhan mau membawanya untukku hari ini, dengan gelisah aku mengetukkan ujung tumit sepatuku di lantai, aku rindu…aku ingin menatap wajahnya lagi, berulang kali aku menarik nafas panjang, untuk meredam gelisahku.
Tak berapa lama kemudian, lonceng di pintu kedaiku bergemerincing. Dia datang! Terima kasih Tuhan, karena telah menjawab doaku. Dia terlihat sangat tampan dan duduk di tempat yang sama. Ada yang lain dari dirinya, kali ini dia tidak menulis, wajahnya berbeda dengan kemarin, dia tampak ceria, apa gerangan yang membuatnya bahagia? aku menunggu Arneta mengantarkan pesanan untuknya. Setelah kulihat dia meminum cappucinonya dua teguk, aku melangkah hendak menghampirinya, baru satu langkah, aku dikejutkan dengan gemerincing lonceng di pintu masuk kedaiku, seorang wanita cantik menerobos masuk dengan gaun pengantin berwarna putih, masih lengkap dengan kerudung dan buket bunga di tangannya.
Dia menghampiri laki – laki itu, mereka saling berpandangan sesaat, lalu saling berpelukan, wanita itu menangis, tanpa ragu – ragu laki – laki itu menciumnya lalu menggandeng wanita itu pergi. Ketika mereka melewatiku, laki – laki itu berhenti,
“Mawar, tolong doakan kami ya…”
Katanya sambil tersenyum, sementara wanita cantik disampingnya, mengangsurkan buket bunga padaku,
“Terimalah…aku akan bahagia jika kau mau menerimanya, semoga kisah cintamu lebih indah..”
Wanita itu meraih tanganku dan meletakkan buket bunga pengantinnya, aku buru – buru menganggukkan kepala,
“Semoga bahagia….” Ucapku lirih
Keduanya tersenyum, saling berpandangan satu sama lain, wajah mereka terlihat sangat bahagia, lalu pergi dan meninggalkan perih untukku.
Mereka keluar dari kedai, dengan diiringi tatapan mata dari orang – orang. Saat mereka akan menyeberang jalan, aku menundukkan kepalaku, ada perih menusuk – nusuk di dadaku, aku tidak rela!!!aku tidak rela!!
CIITT!!BRAKK!!
Aku tersentak, dari luar terdengar sesuatu, suasana tiba – tiba berubah mencekam, tanganku gemetar, Arneta memegangi lenganku erat – erat,
“Mbak Mawar!!! mereka…mereka….tertabrak truk!!!” jerit Arneta histeris, sontak aku berlari keluar, dan melihat mereka berdua tergeletak berpelukan, bersimbah darah dengan wajah yang bahagia. Sejenak aku terpaku, dan ketika sel – sel di otakku mulai sadar, aku tersenyum.

“Aku berjanji, Kelak....takkan kubiarkan kau mati dalam kesendirian…”


***

No comments: